poverty, social exclusion, and welfare

22 Nov 2012

*liat postingan di bawah-bawah
duh tadinya mau bikin sampai part 5 tapi males hahaha yaudah kapan-kapan saja

copas dari tumblr saya, sepertinya lebih baik ditaro disini

materi PIS kali ini cukup menarik, poverty, social exclusion, and welfare, perkataan dosenku tadi membuatku berpikir ulang, memang semuanya tergantung kau melihat dari sisi apa. mau review aja, tadi tes kecil cuma bener 4 dari 7 soal wkwk orz, sepertinya aku harus rajin-rajin nyari materi yang terpencar kayak puzzle itu. aku yang salah ngga persiapan dari kemarin

kelas kuliah tadi lebih ditekankan oleh masalah poverty, welfare ngga terlalu dipelajarin, malah ngga, oh handout kau menyesatkanku

poverty: absolute and relative
http://theblackinventor.com/wp-content/uploads/2011/01/World-Poverty.jpg
seketika teringat bercandaan remaja remaja labil, cantik itu relatif dan jelek itu absolut. bukan, ini bukan ngomongin dalam arti seperti itu. 

kemiskinan absolut berarti keadaan dimana sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidupmu tidak terpenuhi dengan baik, seperti makanan, pakaian, atau tempat tinggal.

sedangkan kemiskinan relatif maksudnya ukuran poverty line (garis kemiskinan) tiap negara pasti beda, orang yang tergolong miskin di jepang saat pindah ke indonesia belum tentu jadi miskin
(oke maaf ga tersampaikan dengan baik benar tapi intinya seperti itu eue)
Out of a population of 234 million, more than 32 million Indonesians currently live below the poverty line and approximately half of all households remain clustered around the national poverty line set at 200,262 rupiahs per month ($22)
(source: worldbank, indonesia overview)
dibawah 1$ perhari.. menurut world bank, dibawah $ 1.25 per hari itu udah masuk extreme poverty (masih kontroversional)
sedangkan di amerika poverty linenya US$ 15.5 per day, angka poverty linenya relatif kan?
(source: wikipedia)


blaming the system, blaming the victim
kenapa di handout terjemahan bahasa indonesianya jadi kemiskinan struktural, budaya kemiskinan dan budaya ketergantungan? bahasa inggrisnya terlihat lebih ‘ngena’. ini jenis pendekatan loh ya. dua pendekatan untuk menjelaskan kemiskinan

blaming the system
sistem, yang kita tau, sistem itu satu salah, salah semua. karena mereka sistem. bagian-bagian yang terhubung menjadi satu. unsur-unsur mereka merupakan satu kesatuan yang tak bisa lepas
pola pikir para aktivis, selalu melihat dari sisi ini dan selalu menyalahkan sistem  -dosen sosiologi
(sebentar, banyak noise di perpus, ga konsen orz)
seperti masalah pemerintah dan kebijakan-kebijakannya yang pasti ada pro dan kontranya. contohnya banyak lah, ga perlu dibahas lagi
jika diterjemahkan jadi struktural, seelain itu struktur disini punya arti lebih luas dan berkaitan dengan proses sosial seperti kelas sosial, gender, etnis, posisi okupasi, pendidikan, dll. ini yang jadi penghambat seseorang keluar dari masalah kemiskinan

blaming the victim
yak lanjut, blaming the victim. diartikan sebagai masyarakat kelas bawahlah yang bertanggung jawab atas kemiskinannya. kenapa? karena mereka tidak terampil, tidak punya motivasi untuk mobilisasi ke atas, kurang bermoral, dan ketergantungan dengan bantuan. mental, mental orang indonesia, merasa aman dan nyaman dalam keadaan seperti lalu merasa tidak perlu untuk mobilisasi, begitu katanya

aku pernah mendengar ibu-ibu bertanya kepada pengamen cilik. ‘dek, itu sehari dapet duit berapa?’ ‘tujuh puluh ribu’ sambil cengengesan dia mengaku kayak gitu. percaya atau tidak 70.000x30 = 2.100.000. setara gaji pns.. buat sekolah cukup banget loh. kenapa bisa gitu ya? manajemen uang mungkin yang salah, atau mereka dipalakin tiap hari sama bandarnya? entahlah

biasanya suatu negara condong ke salah satu pendekatan di atas. tapi indonesia? keduanya..

yah ngga salah sih ngasih uang ke pengamen/pengemis dengan niat amal, tapi coba dipikirkan lagi deh, lebih baik kita membantu mereka agar sadar diri untuk melakukan mobilisasi vertikal. cuma, bagaimana solusinya ya? katanya lebih baik memperbaiki struktur. coba kita ambil contoh saat pembuatan ktp di kelurahan, tanpa dipungut biaya, begitu katanya, cuma petugasnya tetap minta uang buat biaya administrasi. hm..

personal choice, jangan dilupain. tiap orang berhak memilih dan punya kebebasan. seperti halnya buang sampah sembarangan. reaksi nenekku kalau ada hujan deras pasti langsung ambil tong sampah membuang sampah-sampah itu ke got besar, biar ngalir katanya. dibilangin berkali-kali pasti kalah debat deh
wut ini saya ngomong apa ya

social exclusion
ini beda lagi, meskipun mirip-mirip sama poverty. jadi individu tersebut tidak dapat secara penuh terlibat dalam masyarakat. eksklusi sosial lebih menekankan kearah kurangnya ‘akses’
akses apa sajakah? bisa sumber daya dan penghasilan, pasar tenaga kerja, public services(kesehatan, pendidikan, dll), dan relasi sosial
contoh: suku pedalaman di papua? sulitnya mencari lowongan pekerjaan untuk penyandang cacat dan tamatan SMP? tapi aku nangkepnya mirip-mirip pengucilan deh, alienation. setelah searching-searching ternyata cakupannya luas sekali
jadi apakah orang kaya eksentrik yang tinggal sendirian di pulau pribadi itu termasuk eksklusi sosial? tidak. bagaimanapun karena dia kaya maka pasti punya akses

terus gue tiduuuurrr otl otl gatau kenapa selalu tidur, ga sadar diri, tiba tiba item dan waktu sudah berjalan.

bahan diskusinya tadi.. salah satu program pemerintah dalam memberantas kemiskinan yaitu dana BOS. aku kelewatan, tiba-tiba tidur ga sadar diri orz. pas bangun-bangun ngomongin rsbi

tunggu, saya stuck, blank, bingung mau nulis apa lagi

tiba-tiba inget ltm agama belum dikerjain. sudah cukup cuap-cuap yang menggantung dan masih dipertanyakan ini. kapan-kapan dilanjutkan

0 comment:

Posting Komentar